JAKARTA, (PRLM).- Pemerintah harus membuat keputusan yang tegas dan mengikat terhadap peruntukan penggunaan bahan bakar minyak solar bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Harus dibedakan penggunaan bagi keperluan listrik khusus untuk pengguna kelompok yang perlu disubsidi (450 VA dan 900 VA) yang dipergunakan untuk keperluan pembangkit listrik yang dominan bagi golongan mampu termasuk industri.
"Artinya, harus ada audit penggunaan solar pada PLN yang membedakan penggunaan BBM solar bagi operasional untuk listrik bagi kelompok pengguna dengan daya 450 VA dan 900 VA dengan kelompok pengguna dengan daya di atas 900 VA atau kelompok mampu termasuk industri," kata Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Dikatakan, subsidi pemerintah terhadap PLN juga perlu dievaluasi dengan cermat atau dikaji ulang apakah sudah sejalan dengan kenaikan Tarif Daya Listrik yang rutin dilakukan selama ini. "Artinya, adanya kenaikan TDL logikanya harus diikuti dengan berkurangnya subsidi Pemerintah terhadap PLN," ujarnya.
Menurut Sofyano, hasil audit terhadap peruntukan penggunaan solar PLN tersebut, bisa dijadikan salah satu referensi dalam menentukan besaran harga beli solar dari pihak manapun.
Artinya jika PLN menentukan harga beli solar sesuai yang mereka inginkan karena dengan pertimbangan solar tersebut dominan dipergunakan untuk pembangkit yang produksinya dominan pula untuk golongan tidak mampu yang harus disubsidi, maka ini akan bisa dimaklumi oleh siapapun termasuk Pertamina sebagai persero milik negara.
"Bagi publik akan terasa sangatlah aneh dan tidak fair jika solar yang akan dibeli PLN dengan harga yang tidak sesuai dengan harga keekonomian, namun ternyata solar tersebut dipergunakan untuk pembangkit listrik yang produksi listriknya dijual untuk kebutuhan golongan mampu dan industri yang kenyataannya tidak termasuk golongan yang perlu disubsidi oleh pemerintah," katanya.
Disebutkan, perlunya audit subsidi PLN, sejalan pula dengan ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK semester I (IHPS) tahun 2013 yang disampaikan dalam sidang Peripurna di Gedung Nusantara DPR RI pada 1/10/2013 yang lalu, di mana BPK menyatakan adanya subsidi senilai Rp 44,61 triliun yang diberikan kepada golongan tarif pelanggan menengah, besar, khusus dan Pemerintah.
"Hal itu bertentangan dengan tujuan pemberian subsidi sehingga alokasi subsidi listrik menjadi tidak tepat sasaran," katanya.
Terkait adanya audit terhadap harga solar yang ditawarkan Pertamina ke PLN, dia berpendapat, pada hakekatnya itu tidaklah diperlukan. Audit terhadap harga jual solar yang ditawarkan ke PLN oleh Pertamina, pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpercayaan PLN terhadap harga yang ditawarkan Pertamina.
Publik juga bisa menilai bahwa audit tersebut sebagai cara untuk membuktikan ke publik bahwa harga solar Pertamina di luar batas kewajaran jika hasil audit yang dilakukan lembaga audit ternyata lebih rendah dari harga yang ditawarkan Pertamina. Ini harusnya dihindari oleh pihak PLN .
Terhadap tidak didapatnya persesuaian harga beli solar keekonomian yang diinginkan PLN, seharusnya PLN melakukan tender terbuka secara umum bahkan jika perlu mengundang swasta termasuk pihak asing untuk turut memberikan penawaran. Dengan demikian, Pertamina tidak berpotensi "disudutkan" oleh publik seakan Pertamina menawarkan harga jual yang tidak wajar.
source: (PRLM)
source: (PRLM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar